Dihadiri Pengurus MUI Setempat, DPW dan DPD LDII Se-Bali Ikuti Tausiah Kebangsaan Waketum MUI Pusat

Dihadiri Pengurus MUI Setempat, DPW dan DPD LDII Se-Bali Ikuti Tausiah Kebangsaan Waketum MUI Pusat

KEDIRI – Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI), Dr. KH. Marsudi Syuhud, MA memberikan tausiah kebangsaan kepada jajaran pengurus Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Acara dihelat secara luring di Pondok Pesantren Wali Barokah, Kediri, Jawa Timur.

Pondok Pesantren Wali Barokah merupakan mitra strategis LDII dalam melahirkan juru dakwah. Acara tersebut diikuti pengurus DPW dan DPD LDII di seluruh Indonesia secara daring. Lebih dari 5.000 orang yang terdiri para ulama dan para pengurus LDII, serta perwakilan dari MUI di provinsi dan kabupaten/kota menghadapi acara tersebut.

Pengurus DPW LDII Bali dan Pengurus MUI Bali sedang menyanyikan lagu Indonesia Raya saat pembukaan Tausiah Kebangsaan

Tak terkecuali di Bali. DPW dan DPD LDII kabupaten/kota se-Bali serentak mengikuti acara tersebut di studio mini masing-masing. Di setiap studio mini hadir pengurus MUI provinsi dan kabupaten/kota setempat. Di studi DPW LDII Bali misalnya, hadir lima orang pengurus MUI Provinsi Bali.

DPD LDII Kota Denpasar dan pengurus MUI Kota Denpasar

Sementara di DPD Kota Denpasar hadir Ketua MUI Kota Denpasar KH. Saifuddin Zaini dan Kasi Bimas Islam H. Prawoto. Di DPD LDII Tabanan hadir Wakil Ketua Umum MUI Tabanan, Ustaz Yusuf, S.Pd.I dan Sekretaris Dewan Pertimbangan Ustaz Bukhari, S.Ag.

Pengurus DPD LDII Tabanan dan Pengurus MUI Tabanan

Di Studio DPD Badung hadir enam pengurus MUI Badung yang dikoordinir Sekretaris Umum Ir. H. Jaka Sujana. Di DPD Jembrana hadir H. Surjah yang merupakan Wakil Ketua Umum MUI Jembrana.

Pengruus DPD LDII Kabupaten Jembrana dan pengurus MUI Jembrana.


Dalam tausiahnya, KH Marsudi Syuhud menekankan konteks hubungan negara dan agama terdapat dalam tiga hal. Pertama, negara harus mampu membuat hubungan antara hukum tetap (Alquran dan Alhadis) dengan produk undang-undang yang dihasilkan negara, “Aturan yang dibuat negara harus bermanfaat dan mengurangi kemaksiatan atau kekacauan,” ujarnya.

Kedua, bernegara itu harus bisa menyatukan maslahat umum dan individu, “Contohnya pajak, hasil pajak bermanfaat untuk kepentingan umum. Namun adakalanya masyarakat dalam kondisi tak mampu bayar pajak, maka aturannya diubah bisa afirmasi atau tax holiday,” pungkasnya. 

Dan yang ketiga, menyatukan atau merukunkan kepentingan materi dan rohani, “Saat negara memperbolehkan salat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya bahkan mengurusinya maka sudah syariah. Meskipun bakal ada tabrakan antara syariah dan maksiat, misalnya ada korupsi bantuan sosial, maka korupsinya dibasmi bukan bantuan sosialnya yang dihilangkan,” ujarnya. 

Ia mengingatkan, negara yang didasari musyawarah, maka hukumnya wahib menjaga kesepakatan atau produk musyarawag tersebut. Apa yang kurang dari negeri ini, ia berpesan untuk diperbaiki bersama, “Bukan negaranya yang dirobohkan,” pungkasnya. Ia juga meminta semua bersyukur atas rahmat Allah kepada Indonesia, yang aman dan tenteram.

“Lebih baik menjadi orang miskin di negeri yang kuat dan kaya, ketimbang menjadi orang kaya di negeri yang barbar, penuh ancaman, dan ketidakpastian,” ujarnya.

Selain itu, pentingnya keterhubungan antar manusia, sehingga antarmanusia terhubung rohani, pikiran, amaliah dan berbagai hal lainnya. Keterhubungan itu, menurutnya sudah dicontohkan Rasulullah SAW dalam membangun negara kecil bernama Madinah, yang tertuang dalam Piagam Madinah. 


Dalam pandangannya, Rasulullah mendirikan negeri Madinah sebagai negara untuk menyambung, mengikat masyarakat di dalamnya untuk hidup bersama meskipun tidak satu agama.
 “Islamnya saja ada golongan Muhajirin ada Ansor, ada Yahudi, Nasrani, dan Majusi yang bukan agama samawi. Dari beragam agama itu diikat untuk menyatukan perbedaan,” tuturnya. 

Sebagai penyatu perbedaan, Rasulullah memiliki kemampuan yang mumpuni sebagai hakim, jenderal ketika perang, hingga mengurus ketertiban, “Bahkan Rasulullah sampai mengurusi akhlak,” ujarnya.
Saat Turki Utsmani runtuh, negara-negara memisahkan diri dan para tokohnya bermusyawarah dan berijtihad mengenai negara mereka. Pada 1936 Nahdlatul Ulama dalam Muktamar 1936 sudah membahas bentuk negara Indonesia. Berangkat dari musyawarah itulah lahirlah dasar negara. Kemudian Pancasila ditetapkan menjadi dasar negara atas musyawarah. 

“Jadi bila ada yang bertanya pilih Alquran atau Pancasila, itu sama halnya menanyakan bumbu pecel tumpang atau pecel tumpang, bakso atau buletan bakso,” selorohnya. 
Artinya, lanjut KH Marsudi, Pancasila itu terdapat dalam Alquran. Maka tugas pemerintah adalah menyambungkan hukum yang tetap berupa Alquran dan Sunnah ke dalam aturan-aturan, demi kemaslahatan umat. 
Alquran dan Sunnah itu hukum yang tetap, sementara masalah terus tumbuh dan berkembang, maka pemerintah tinggal membuat aturan untuk kemaslahatan. 
“Lampu lalu lintas tidak ada dalam Alquran dan Alhadis, namun karena maslahat untuk umat manusia, maka itu sudah memenuhi aturan yang syariah,” tukasnya. 

Sementara itu, pimpinan Pondok Pesantren Wali Barokah, Drs KH Soenarto, M.Sc menyebut tausiah kebangsaan ini penting dalam kondisi keumatan yang menghadapi masalah yang kompleks dan multidimensi.
“Kami membutuhkan pencerahan,” ujarnya. 

Sebagai pondok pesantren yang diamanati DPP LDII untuk menghasilkan juru dakwah menurut KH Soenarto, posisi Pondok Pesantren Wali Barokah sangat strategis, “Maka para juru dakwah itu, perlu dibekali ilmu agama yang _kaffah_, dan wawasan kebangsaan yang kuat dan mantap,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Ketua Umum DPP LDII Ir KH Chriswanto Santoso, M.Si mengemukakan pentingnya menjalin silaturahim. Dengan silaturahim itu, para tokoh agama bisa turut memikirkan bangsa dan negara sebagai kontribusi untuk menjadikan Indonesia negeri yang makmur penug rahmat dari Allah.

“Tausiah ini jadi penting untuk memperkuat ukhuwah Islamiah agar ukhuwah wathoniah juga kuat, dan ketiga ukhuwah basariah terjaga. Para pendiri bangsa mendirikan negeri ini atas perbedaan yang tak bisa dihindari, dan para ulama menjadi motor penggerak perjuangan. Dari perbedaan itu, justru kita menyatu,” tegas KH Chriswanto Santoso.

 
Menurut Chrsiwanto Santoso, di tengah era digital ini, internet mempermudah lalu-lalang informasi. Namun teknologi itu, juga mempermudah fitnah menyebar, “Digitalisasi memungkinkan menulis atau mengubah suara menjadi saya, padahal pesan-pesannya bukan dari saya. Ini bisa mendatangkan fitnah dan perpecahan umat,” ujar Chriswanto Santoso. Ia mengingatkan, para pendiri membentuk LDII bertjuan untuk berkontribusi kepada umat, bangsa, dan negara secara positif. 
“Kami memiliki delapan program kerja yang diselaraskan dengan program nasional, agar menjadi solusi. LDII harus mendukung bangsa dan negara dan memberi solusi terutama masalah kebangsaan. Bila Indonesia goyang, LDII turut ikut sempoyongan,” ujar KH Chriswanto Santoso. 


Dalam kesempatan itu, KH Marsudi Syuhud didampingi Wakil Sekjen DP MUI Arif Fahrudin M.Ag, Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan DP MUI Prof Dr H Firdaus Syam, M.A, Sekretaris Dr Ali Abdillah.  (KIM)

Informasi