Sejak 1981, Ini Sejarah Warga LDII di “Bumi Sejuk” Pupuan

Sejak 1981, Ini Sejarah Warga LDII di “Bumi Sejuk” Pupuan

PUPUAN, LDII – Jika Anda berkunjung ke Bali, bisa singgah ke Kabupaten Tabanan. Di sana ada satu daerah bernama Pupuan. Berada di ketinggian 1.879 meter di atas permukaan laut (mdpl) membuat udara di Kecamatan Pupuan selalu terasa sejuk dan segar.  

Sepanjang perjalanan ke Pupuan, di kanan kiri jalan akan disuguhi banyak sawah terasering yang indah. Pemandangan alam ini sangat cocok untuk melepas penat dari suasana perkotaan.

Sawah terasering di Kecamatan Pupuan. Foto Tribun Bali

Tidak hanya alamnya yang asri, di Kecamatan seluas 172,02 km2 ini masyarakatnya juga hidup secara harmonis meski memeluk keyakinan yang berbeda. Hal itu tercermin dari kehidupan sehari-hari.

Kendati berada di tengah mayoritas pemeluk agama Hindu, masyarakat yang beragama lain mendapat ruang untuk melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya. Salah satunya adalah umat muslim.

K.H. Abu Bakar (kiri) dan K.H. Abdul Gofur (kanan) tokoh dan saksi sejarah PC LDII Pupuan

“Kami berada di Pupuan ini sejak 1981,” ujar K.H. Abu Bakar dan K.H Abdul Gofur, tokoh sekaligus saksi sejarah warga Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Kecamatan Pupuan diwawancarai Jumat (22/1/2021).

Musala LDII di Pupuan terletak di Desa Bantiran. Untuk mencari musala LDII tak begitu sulit. Letaknya tak jauh dari Kantor Camat dan Kantor Koramil Pupuan atau arah menuju Kabupaten Buleleng.

Suasana di depan Musala LDII Pupuan, Jumat (22 Januari 2021)

Menurut Abu, LDII di Pupuan memiliki sejarah cukup panjang. Dulu, tutur Abu, pada 1981 hanya ada satu kepala keluarga (KK). Lambat laun, jumlah KK bertambah menjadi empat.

Salah satu momen yang tidak terlupakan oleh Abu dan Gofur adalah masa awal reformasi menjelang akhir tahun 2000. “Saat itu kebetulan rawan konflik dan sering terjadi kerusuhan di mana-mana,” tutur Gofur.

Nahas, musala LDII Pupuan yang letaknya tidak jauh dari jalan raya sempat menjadi korban salah sasaran sejumlah oknum tidak bertanggungjawab.

“Tempat kami sempat dilempari batu. Batunya besar-besar. Anak saya yang kecil hampir terkena lemparan batu. Saya hanya bisa berdoa waktu itu,” kenang Abu.

Warga LDII Pupuan mendirikan plang atau papan nama organisasi pada 23 Januari 2021

Perasaan warga LDII Pupuan pun kalut. Maklum, saat itu menjelang Ramadan. Ada kekhawatiran tidak bisa menjalankan ibadah puasa dengan tenang. Abu dan Gofur yang merasa warga LDII tidak bersalah akhirnya menghubungi tokoh masyarakat setempat.

Gofur menegaskan warga LDII Pupuan tidak berpolitik praktis. Mereka juga tidak pernah melanggar peraturan perundang-undangan.

“Alhamdulilah, berkat pertolongan Allah, tokoh masyarakat di sini langsung bergerak dan melindungi kami,” papar Gofur.

Sejak saat itu, warga LDII Pupuan terus berkembang. Saat ini ada sekitar 25 KK warga LDII di Pupuan.

Menurut Abu dan Gofur, LDII di Pupuan bisa hidup berdampingan dengan masyarakat setempat dan pemeluk agama lain karena menerapkan budi luhur dan toleransi.

Implementasinya yaitu menolong dan membantu warga lain saat ada kesulitan. Hingga saat ini warga LDII Pupuan aktif mengikuti kerja bakti dan gotong royong.

“Kalau ada jalan jebol atau longsor, kami sekuat tenaga ikut membantu,” tukasnya.

Yang paling membanggakan yaitu momen ketika warga LDII Pupuan terlibat dalam perayaan HUT Kemerdekaan RI atau Agustusan. Pernah dalam satu pawai Agustusan, warga LDII Pupuan diminta mengarak replika burung Garuda berukuran besar.

“Ya, kami senang dan bangga karena Garuda adalah simbol Pancasila yang merupakan dasar negara kita tercinta, Indonesia,” kata Abu dengan nada bangga.

Setiap upacara bendera, baik pengibaran maupun penurunan bendera juga dilibatkan. “Intinya kita saling menghormati dan bertoleransi untuk menjaga kerukunan antarumat beragama,” pungkasnya. (sandijaya)

Informasi